Bali butuh Wall Farmer !!
OPINI


Apa Itu Wall Farmer?
Jadi, wall farmer itu adalah sebutan untuk petani yang mengembangkan pertanian vertikal atau kebun dinding (vertical garden). Bayangin aja, kalau biasanya petani butuh lahan luas membentang di tanah, wall farmer ini justru "menanam" di dinding atau struktur vertikal lainnya. Mereka memanfaatkan setiap jengkal ruang tegak yang ada, baik di dalam maupun di luar ruangan.
Oke, jadi, wall farmer itu adalah sebutan keren buat petani yang khusus menanam di area vertikal, alias di dinding atau struktur yang menjulang ke atas. Mereka ini bukan cuma hobi berkebun di pot tempel, tapi beneran menggarap pertanian secara serius menggunakan teknik-teknik modern seperti hidroponik atau aeroponik.
Bayangkan sebuah dinding bangunan, bisa di rumah, hotel, atau bahkan di lahan sempit perkotaan, disulap jadi kebun sayuran segar. Sayuran yang biasa ditanam juga yang pertumbuhannya cepat dan akbel (mudah diatur) seperti selada, pokcoy, kangkung, bayam, bahkan herba seperti mint atau basil. Ini adalah bentuk urban farming yang sangat efisien dalam pemanfaatan ruang.
Kenapa Bali Butuh Wall Farmer?
1. Lahan Pertanian yang Makin Menciut!
Ini problem paling utama di Bali. Pertumbuhan pariwisata dan pembangunan infrastruktur bikin lahan pertanian terus tergerus. Sawah dan kebun yang dulu luas, kini banyak yang berubah jadi hotel, villa, atau perumahan. Wall farming jadi penyelamat karena nggak butuh lahan horizontal yang luas.
Data Pendukung: Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali, luas panen padi di Bali pada tahun 2023 mengalami penurunan sekitar 3,29% dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara itu, laporan dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali tahun 2023 menunjukkan bahwa penurunan luas lahan sawah rata-rata mencapai 475,20 hektar per tahun dalam lima tahun terakhir (2018-2023), atau sekitar 0,62% per tahun. Bahkan ada sumber yang menyebut alih fungsi lahan mencapai 700-1000 hektar per tahun. Ini mengindikasikan betapa krusialnya mencari alternatif pertanian yang hemat lahan seperti wall farming.
2. Ketergantungan Pangan dari Luar Makin Tinggi
Kalau lahan pertanian lokal berkurang, otomatis Bali jadi makin bergantung sama pasokan sayuran dari luar daerah. Ini bahaya banget kalau ada gangguan pasokan, misalnya karena bencana alam atau masalah distribusi, harga sayuran bisa melonjak dan ketersediaan jadi nggak stabil.
Data Pendukung: Meskipun data spesifik tingkat ketergantungan untuk jenis sayuran tertentu sulit didapat secara up-to-date, namun secara umum, laporan dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali (2024) mengindikasikan bahwa sebagian besar kebutuhan sayuran seperti wortel, kentang, dan cabai masih didatangkan dari luar Bali. Wall farming, khususnya untuk sayuran daun yang cepat panen, bisa jadi kontributor signifikan untuk kemandirian pangan lokal.
3. Hemat Air dan Ramah Lingkungan
Teknik hidroponik atau aeroponik yang sering dipakai di wall farming itu super efisien dalam penggunaan air. Airnya bisa disirkulasi ulang, jadi sangat hemat dibanding sistem irigasi konvensional. Ini penting buat Bali yang punya tantangan ketersediaan air bersih di beberapa wilayah.
Data Pendukung: Berbagai studi global, seperti yang dikutip oleh University of Arizona, menunjukkan bahwa pertanian vertikal dapat menghemat hingga 70-95% air dibandingkan metode pertanian tradisional. Di tengah isu perubahan iklim dan kelangkaan air, ini adalah nilai tambah yang sangat relevan untuk Bali.
4. Peluang Urban Farming untuk Pariwisata Berkelanjutan
Banyak hotel, restoran, dan vila di Bali yang punya dinding kosong atau lahan terbatas. Mereka bisa menerapkan wall farming untuk memproduksi sayuran segar sendiri untuk dapur mereka. Selain itu, ini juga bisa jadi daya tarik unik bagi wisatawan yang makin peduli dengan konsep sustainable tourism atau pariwisata berkelanjutan. Wisatawan bisa melihat langsung proses panen sayuran yang mereka konsumsi!
Data Pendukung: Anggota DPD RI dapil Bali, Dr. Made Mangku Pastika, pada tahun 2024 menyatakan bahwa urban farming punya potensi ekonomi menjanjikan dan sejalan dengan program Bali menuju "Green Province". Ada contoh seperti Warung Akah di Sanur yang memanfaatkan hasil urban farming mereka dan banyak turis menyukai produk tersebut. Ini jelas menunjukkan potensi wall farming sebagai bagian dari daya tarik wisata dan upaya Bali yang lebih hijau.
5. Estetika dan Kualitas Udara Perkotaan
Selain manfaat pangan, kebun vertikal juga bisa memperindah tampilan bangunan dan menciptakan suasana yang lebih asri. Tanaman juga membantu menyerap karbon dioksida dan menghasilkan oksigen, serta membantu mengurangi efek urban heat island (pulau panas perkotaan), bikin lingkungan sekitar lebih sejuk.
Data Pendukung: Penelitian menunjukkan bahwa keberadaan tanaman di lingkungan perkotaan dapat menurunkan suhu sekitar dan meningkatkan kualitas udara, yang sangat bermanfaat di kota-kota padat seperti Denpasar.
Jadi, udah jelas banget kan sekarang, wall farmer di Bali itu bukan cuma tren, tapi sebuah kebutuhan mendesak dan solusi inovatif untuk menjaga ketahanan pangan, menghemat sumber daya, dan mendukung pariwisata berkelanjutan di tengah tantangan keterbatasan lahan dan perubahan iklim. Mereka adalah pahlawan modern yang bikin Bali tetap hijau dan mandiri!